Mengenal Udang Putih Vanamei – Bagian I

Wednesday, April 1, 2009

Mengenal Udang Putih Vanamei – Bagian I

1 comments

Teknologi budidaya udang terus memerlukan penelitian dan pengembangan dari waktu ke waktu. Walaupun dalam dua dasawarsa terakhir telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, namun jika dibandingkan dengan teknologi pertanian (misalnya hortikultura) atau peternakan (misalnya unggas), teknologi budidaya udang masih sangat jauh ketinggalan. Teknologi pertanian dan peternakan telah mencapai tahap genetic engineering (rekayasa genetika) dimana secara genetik telah ditemukan bibit unggul yang lebih produktif dan tahan terhadap penyakit. Sedangkan teknologi budidaya udang baru memasuki tahap genetic mapping (pemetaan genetika). Perkembangan terakhir teknologi budidaya udang difokuskan pada genetic improvement (perbaikan genetika) melalui proses seleksi induk secara ketat. Namun proses genetic improvement ini masih berada pada tahap seleksi secara alami.

Tingkat keberhasilan dari penerapan teknologi budidaya udang sangat bergantung pada tingkat penguasaan teknologi lingkungan perairan (sebagai tempat hidup udang) dan biologi udang itu sendiri. Lingkungan perairan merupakan ekosistem yang sangat kompleks, yang terdiri dari komponen biotik dan komponen abiotik. Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang benar tentang ekosistem perairan (tambak) sehingga dapat senantiasa menjaga keseimbangannya. Disamping itu, pemahaman tentang biologi udang merupakan hal yang tidak kalah penting, mulai dari anatomi, morfologi, fisiologi, habitat dan kebiasaan makan sampai pada pemahaman structure genetiknya.

Kondisi geografis juga memberikan pengaruh yang berbeda dalam hal struktur dan tekstur tanah, kualitas fisika dan kimia air serta kandungan unsur hara. Demikian juga dengan perbedaan iklim dan perubahan cuaca. Ini semua akan mempengaruhi pola dan jenis teknologi yang diterapkan. Pengaruh yang muncul dari perubahan cuaca, juga terlihat pada tingkat penyerangan penyakit. Pada musim penghujan misalnya, biasanya jumlah tambak yang terinfeksi penyakit lebih banyak dibandingkan pada musim kemarau. Hal ini diakibatkan oleh tingginya potensi fluktuasi kualitas air (terutama temperatur dan salinitas) yang mengakibatkan meningkatnya potensi stres udang dan virulensi penyakit.

Dari gambaran kondisi di atas untuk membuat Panduan Standar Budidaya Udang (PSBU) relatif sulit. Namun demikian, dengan menyadari dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan budidaya udang serta variasi kondisi alam tersebut, dapat disusun sebuah buku panduan yang mencakup keseluruhan tahap secara komperhensif yang disertai pedoman praktis, mulai dari persiapan tambak, persiapan air, persiapan tebar, proses penebaran benur, manajemen air, manajemen pakan, pengendalian penyakit hingga pelaksanaan panen. Standar operasi ini, bersifat dinamis seiring dengan permasalahan yang ditemukan di lapangan dan perkembangan teknologi budidaya udang yang ada.

A. SEBARAN GEOGRAFIS UDANG VANNAMEI

Daerah penyebaran L. vannamei meliputi Pantai Pasifik, Meksiko, Laut Tengah dan Selatan Amerika. Sebuah wilayah dimana suhu air secara umum berkisar di atas 200 C sepanjang tahun. Di sini merupakan tempat populasi L. vannamei berada. Karena spesies ini relatif mudah untuk berkembang biak dan dibudidayakan, maka L. vannamei menjadi salah satu spesies andalan dalam budidaya udang di beberapa negara dunia.

clip_image002

Gbr. 1.1. Peta distribusi alami udang putih Litopenaeus Vannamei (Samocha,- )

B. TAKSONOMI UDANG VANNAMEI (Litopenaeus Vannamei)

Taksonomi udang vannamei adalah sebagai berikut :

Phylum : Arthropoda

Class : Crustacea

Subclass : Malacostraca

Series : Eumalacostraca

Superorder : Eucarida

Order : Decapoda

Suborder : Dendrobrachiata

Infraorder : Peneidea

Superfamily : Penaeoidea

Family : Penaeidae

Genus : Penaeus

Subgenus : Litopenaeus

Species : Litopenaeus vannamei

Udang Putih (Litopenaeus Vannamei) termasuk dalam :

  1. Crustacea yang tergolong dalam ordo Decapoda seperti halnya lobster dan kepiting serta udang-udang lainya. Kata decapoda berasal dari kata deca = 10, poda = kaki, hewan ini juga memiliki karapas yang berkembang menutupi bagian kepala dan dada menjadi satu (cephalothorax).
  2. Famili Penaeidae yang menetaskan telurnya di luar tubuh, setelah dikeluarkan oleh si betina dan udang ini juga memiliki tanduk (rostrum).
  3. Genus penaeus yang ditandai dengan adanya gigi pada bagian atas dan bawah rostrum juga ditandai dengan hilangnya bulu cambuk (setae) pada tubuhnya. Secara khusus udang ini memiliki 2 gigi pada tepi rostrum bagian ventral dan 8-9 gigi pada tepi rostrum bagian dorsal.
  4. Subgenus Litopenaeus, yang ditandai dengan adanya organ seksual (thelycum) yang terbuka tanpa adanya tempat penampung sperma pada spesies betina.

Nama-nama lain dari udang putih Litopenaeus vannamei adalah Pacific white shrimp, West coast white shrimp, Penaeus vannamei, Camaron blanco Langostino, White leg shrimp (FAO), Crevette pattes blanches (FAO), Camaron pati blanco (FAO).

C. FISIOLOGI UDANG PUTIH (Litopenaeus Vannamei)

Semula digolongkan kedalam hewan pemakan segala macam bangkai (omnivorous scavenger) atau pemakan detritus. Dari hasil penelitian terhadap usus udang menunjukkan bahwa udang ini adalah karnivora yang memakan crustacea kecil, amphipoda dan polychaeta.

Secara alami L. vannamei merupakan hewan nocturnal yang aktif pada malam hari untuk mencari makan, sedangkan pada siang hari sebagian dari mereka bersembunyi di dalam substrat atau lumpur. Namun di tambak budidaya dapat dilakukan feeding dengan frekuensi yang lebih banyak untuk memacu pertumbuhannya.

L. vannamei membutuhkan makanan dengan kandungan protein sekitar 35%, lebih kecil jika dibandingkan udang-udang Asia seperti Penaeus monodon dan Penaeus japonicus yang membutuhkan pakan dengan kandungan protein hingga 45%. Dan ini akan berpengaruh terhadap harga pakan dan biaya produksi.

Pertumbuhan dipengaruhi oleh 2 faktor utama, yaitu: frekuensi molting (waktu antar molting) dan kenaikan angka pertumbuhan (Angka pertumbuhan setiap kali molting).

Kondisi lingkungan dan makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi frekuensi molting. Sebagai contoh, suhu yang tinggi dapat meningkatkan frekuensi molting. Penyerapan oksigen oleh udang kurang efisien selam molting, akibatnya selama proses ini beberapa udang mengalami kematian akibat hypoxia atau kekurangan oksigen dalam tubuh.

Sering juga secara nyata molting merupakan proses yang mencerminkan tingkat stres pada udang, sehingga para aquaculturist dituntut untuk tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi (khususnya penurunan) pada frekuensi molting. Selama proses molting berlangsung, terjadi terjadi pemecahan kutikula antara karapas dengan intercalary sclerite, dimana pada bagian cephalothorax dan anterior appendages tertarik atau meregang.

Karapas baru, yang tumbuh pada saat pertama setelah molting sangat lunak dan makin lama makin mengeras menyesuaikan ukuran tubuh udang. Frekuensi molting pada L. vannamei menurun seiring dengan makin besarnya ukuran udang. Pada stadium larva terjadi molting setiap 30-40 jam pada suhu 280 C. Sedangkan juvenile dengan ABW 1-5 gram mengalami molting setiap 4-6 hari, selanjutnya pada ABW 15 gram periode molting terjadi sekitar 2 minggu sekali.



Baca Kategori Yang Sama :

Comments

1 comments to "Mengenal Udang Putih Vanamei – Bagian I"

Anonymous said...
March 31, 2010 at 5:46 AM

klo proses osmoregulasi udang vannamei gimana ya??
mohon infonyaa...
trims

Post a Comment

 

Copyright 2008 All Rights Reserved