2009

Friday, April 17, 2009

Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Jember

1 comments

Rudi Wibowo Rudi Wibowo, Prof. Dr. Ir. MS.  Lahir di Kebumen, 6 Juli 1952. Menikah dengan Effi Setiawati (48 tahun), pada 6 November 1980, kini Effi Setiawati telah menyelesaikan magister Humaniora di Univeritas Indonesia.  Dikaruniai dua orang putri. Putri pertamanya Arfika Arumastika, 22 tahun, alumnus Teknik Arsitektr ITS Surabaya tahun 2006. Putri kedua, Irfani Irmasanti, lahir di Bogor, 18 tahun, adalah siswi Kelas III SMA Terpadu Krida Nusantara, Bandung.

Masa kecil dilalui Rudi di Yogjakarta, hingga hijrah ke Jember, pada 1972 untuk menempuh pendidikan S1 di Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Jember.  Memulai karir dengan bekerja sebagai dosen tetap di urusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Jember Setelah tamat S1 sebagai lulusan pertama tahun 1978 dari institusi yang sama. Kemudian melanjutkan studi S2 dan S3-nya di Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Magister Sain Ekonomi Pertanian diperoleh pada tahun 1981 dan Doktor Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Perdesaan diperolehnya pada akhir tahun 1987. Usai studi S3 dari IPB, diperbantukan di Departemen Pertanian sebagai tenaga ahli, disamping aktif pada berbagai kegiatan profesi, misalnya sebagai tenaga konsultan beberapa proyek seperti Proyek Bank Dunia (Bangun Desa) di Yogyakarta, USAID, Proyek Evaluasi Transmigrasi, Proyek ADB dalam Pengembangan Pendidikan, Proyek-Proyek Kebijakan Pertanian dan sebagainya.

Setelah menjadi dosen teladan Universitas Jember dan salah satu dosen teladan di tingkat nasional pada tahun 1990, lebih banyak mencurahkan waktunya sebagai tenaga ahli Departemen Pertanian. Pada awal tahun 1994 sebagai dosen Universitas Jember diper- bantukan menjadi pejabat struktural eselon II Departemen Pertanian, yaitu Sekretaris Badan Agribisnis. Pada tahun 1997 menjabat sebagai Kepala Biro Tata Usaha BUMN di Departemen Pertanian, dan pada tahun 1998 menjabat sebagai Sekretaris Ditjen Tanaman Pangan dan Hortikultura Departemen Pertanian hingga tahun 2000, pada saat terjadi reorganisasi di Departemen Pertanian. Pada pertengahan tahun 2001 dipercaya sebagai Pembantu Rektor Bidang Kerjasama dan Perencanaan pengembangan UNEJ dan sebagai ketua Tim-Q (tim peningkatan kualitas pendidikan tinggi) UNEJ.

Mengajar dan membimbing mahasiswa, baik mahasiswa S1 dan pascasarjana di UNEJ. Selain itu, pernah mengajar maupun membimbing di Pascasarjana IPB, Pascasarjana ITS, Pascasarjana Unibraw, Universitas Mercubuana, dan perguruan tinggi lainnya. Sebagai guru besar tidak tetap STEKPI, Jakarta. Berbagai kegiatan akademik telah dilakukannya, antara lain seminar-seminar tentang agribisnis, pangan dan sumberdaya, sebagai delegasi pemerintah Indonesia dalam berbagai forum sidang, workshop dan seminar seperti GNB, FAO (KTT Pangan Roma, 1996, PR China, 1999), Asian Productivity Organisation (Jakarta 1996 dan Manila 1999), Second Kennedy Round (Tokyo, 1998), Agribusiness Promotion, Good Governance Programme di Jerman 1998, Agrotourism Programme di University California of Davis (UCD) USA, dan sebagainya. Banyak menulis buku-buku dan jurnal di bidang Ekonomi Pertanian, Pangan dan agribisnis, dan melakukan berbagai penelitian di bidang itu.  Selain itu, berbagai kegiatan keprofesian banyak dilakukan, misalnya dalam keorganisasian  PERHEPI, HIPIPWI, Wisata Agro, GAPPERINDO, Ketenagakerjaan dan lainnya. Penghargaan lain yang diperoleh selain sebagai dosen teladan, adalah sebagai peserta terbaik Diklat SPAMEN di LAN tahun 1996, Satya-lencana Wirakarya dari Presiden RI tahun 1998 dalam pengembangan agribisnis dan Satyalencana Pancawarsa Pinsaka Tarunabumi Nasional Kwarnas Pramuka tahun 1999.

Selain sebagai Guru Besar di UNEJ, saat ini aktif sebagai Sekretaris Jenderal Perhimpunan  Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Ketua Harian merangkap Deputi SDM Badan Eksekutif Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia (GAPPERINDO), Ketua Dewan Pakar Pemuda Tani HKTI Jawa Timur, Anggota Dewan Pengurus Yayasan Agro Ekonomika (YAE) dan Pengurus Yayasan Kebun Nusa.  Selain itu, menjadi tenaga ahli di Provinsi Banten dalam menyiapkan RPJMD Banten 2007-2012.

Baca Selengkapnya »»»»»»

Thursday, April 16, 2009

Memahami Proses Pergantian Kulit (MOLTING) Pada Udang

6 comments

Semua golongan arthropoda, termasuk udang mengalami proses pergantian kulit atau molting secara periodik, sehingga ukuran tubuhnya bertambah besar. Agar udang bisa tumbuh menjadi besar, secara periodik akan melepaskan jaringan penghubung antara epidermis dan kutikula ekstraseluler, segera melepaskan diri dari kutikula (cangkang), menyerap air untuk memperbesar tubuh dan eksoskeleleton yang baru dan selanjutnya terjadi proses pengerasan dengan mineral-mineral dan protein. Proses molting ini menghasilkan peningkatan ukuran tubuh (pertumbuhan) secara diskontinyu dan secara berkala. Ketika molting, tubuh udang menyerap air dan bertambah besar, kemudian terjadi pengerasan kulit. Setelah kulit luarnya keras, ukuran tubuh udang tetap sampai pada siklus molting berikutnya.

Dalam kondisi molting, udang sangat rentan terhadap serangan udang-udang lainnya, karena disamping kondisinya masih sangat lemah, kulit luarnya belum mengeras, udang pada saat molting mengeluarkan cairan molting yang mengandung asam amino, enzim dan senyawa organik hasil dekomposisi parsial eksoskeleton yang baunya sangat merangsang nafsu makan udang. Hal tersebut bisa membangkitkan sifat kanibalisme udang yang sehat.

Ekdisis (proses molting) merupakan suatu rangkaian proses yang sangat kompleks yang dimulai beberapa hari atau bahkan beberapa minggu sebelumnya. Pada dasarnya setiap jaringan terlibat dalam persiapan untuk molting yang akan datang, yaitu :

  • Cadangan lemak dalam jaringan hepatopankreas dimobilisasi.
  • Pembelahan sel meningkat.
  • Diproduksi mRNA yang baru, diikuti oleh sintesis senyawa protein baru.
  • Terjadi perubahan tingkah-laku.

Proses yang rumit ini melibatkan kordinasi sistem hormonal dalam tubuh udang. Siklus molting berlangsung melalui beberapa tahapan. Pada beberapa spesies, masing-masing mempunyai tahapan dan definisi sendiri-sendiri. Pada udang ada 4 tahapan, yaitu:

Postmolt, Postmolt adalah tahapan beberapa saat setelah proses eksuviasi (penanggalan eksoskeleton yang lama). Pada tahapan ini terjadi pengembangan eksoskeleton yang disebabkan oleh meningkatnya volume hemolymph akibat terserapnya air ke dalam tubuh. Air terserap melalui epidermis, insang dan usus. Setelah beberapa jam atau hari (tergantung pada panjangnya siklus molting), eksoskeleton yang baru akan mengeras.

Intermolt, Pada tahapan ini, eksoskeleton menjadi semakin keras karena adanya deposisi mineral dan protein. Eksoskeleton (cangkang) udang relatif lebih tipis dan lunak dibandingkan dengan kepiting dan lobster.

Early Premolt, Pada tahapan early premolt (premolt awal) mulai terbentuk epicuticle baru di bawah lapisan endocuticle. Tahapan premolt dimulai dengan suatu peningkatan konsentrasi hormon molting dalam hemolymph (darah).

Late Premolt, Pada tahapan premolt akhir terbentuk lagi lapisan exocuticle baru di bawah lapisan epicuticle baru yang terbentuk pada tahapan early premolt. Kemudian diikuti dengan pemisahan cangkang lama dengan cangkang yang baru terbentuk. Eksoskeleton (cangkang) lama akan terserap sebagian dan cadangan energi dimobilisasi dari hepatopankreas. Ecdysis (pemisahan cangkang) sebagai suatu tahapan hanya berlangsung beberapa menit saja, dimulai dengan membukanya cangkang lama pada jaringan penghubung bagian dorsal antara thorax dengan abdomen, dan selesai ketika udang melepaskan diri dari cangkangnya yang lama. Siklus molting dikendalikan oleh hormon molting yang dihasilkan oleh kelenjar molting yang terdapat di dalam ruang anterior branchium, dan disebut Y - organ.

Baca Selengkapnya »»»»»»

Mengenal Sifat Udang Windu dan Vanamei

1 comments

Dalam budidaya udang windu dan vanamei kita sejogyanya juga mengenal sifat-sifat (fisiologi) dari udang windu dan vanamei tersebut. Berikut dismpaikan beberapa sifat udang windu (Fisiologi Udang Windu-Penaeus monodon) yang perlu diketahui antara lain : Nocturnal yaitu secara alami udang merupakan hewan nocturnal yang aktif pada malam hari untuk mencari makan, sedangkan pada siang hari sebagian dari mereka bersembunyi di dalam substrat atau lumpur. Namun di tambak budidaya dapat dilakukan feeding dengan frekuensi yang lebih banyak untuk memacu pertumbuhannya. Kanibalisme, Udang windu suka menyerang sesamanya, udang sehat akan menyerang udang yang lemah terutama pada saat molting atau udang sakit. Sifat kanibal akan muncul terutama bila udang tersebut dalam keadaan kurang pakan dan padat tebar tinggi.

Sifat berikutnya dari udang windu adalah berupa, Pakan dan kebiasaan makan (Feeding behaviour), Udang windu hidup dan mencari makan di dasar perairan (benthic). Udang windu merupakan hewan pemakan lambat dan terus-menerus dan digolongkan ke dalam hewan pemakan segala macam bangkai (omnivorous scavenger) atau pemakan detritus dan karnivora yang memakan krustacea kecil, amphipoda dan polychaeta.

Molting, Udang windu melakukan ganti kulit (molting) secara berkala. Frekuensi molting menurun seiring dengan makin besarnya ukuran udang. Pada stadium larva terjadi molting setiap 30-40 jam pada suhu 280 C. Sedangkan juvenile dengan ABW 1-5 gram mengalami molting setiap 4-6 hari, selanjutnya pada ABW 15 gram periode molting terjadi sekitar 2 minggu sekali. Kondisi lingkungan dan makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi frekuensi molting. Sebagai contoh, suhu yang tinggi dapat meningkatkan frekuensi molting. Penyerapan oksigen oleh udang kurang efisien selam molting, akibatnya selama proses ini beberapa udang mengalami kematian akibat hypoxia atau kekurangan oksigen dalam tubuh. Ammonothelic, Amonia dalam tubuh udang windu dikeluarkan lewat insang.

Untuk jenis Udang Putih (Litopenaeus vannamei) dapat disampaikan bahwa Semula digolongkan kedalam hewan pemakan segala macam bangkai (omnivorous scavenger) atau pemakan detritus. Dari hasil penelitian terhadap usus udang menunjukkan bahwa udang ini adalah karnivora yang memakan krustacea kecil, amphipoda dan polychaeta.

Secara alami L. vannamei merupakan hewan nocturnal yang aktif pada malam hari untuk mencari makan, sedangkan pada siang hari sebagian dari mereka bersembunyi di dalam substrat atau lumpur. Namun di tambak budidaya dapat dilakukan feeding dengan frekuensi yang lebih banyak untuk memacu pertumbuhannya.

L. vannamei membutuhkan makanan dengan kandungan protein sekitar 35%, lebih kecil jika dibandingkan udang-udang Asia seperti Penaeus monodon dan Penaeus japonicus yang membutuhkan pakan dengan kandungan protein hingga 45%. Dan ini akan berpengaruh terhadap harga pakan dan biaya produksi. Pertumbuhan dipengaruhi oleh 2 faktor utama, yaitu : frekuensi molting (waktu antar molting) dan kenaikan angka pertumbuhan (Angka pertumbuhan setiap kali molting).

Kondisi lingkungan dan makanan merupakan factor utama yang mempengaruhi frekuensi molting. Sebagai contoh, suhu yang tinggi dapat meningkatkan frekuensi molting. Penyerapan oksigen oleh udang kurang efisien selam molting, akibatnya selama proses ini beberapa udang mengalami kematian akibat hypoxia atau kekurangan oksigen dalam tubuh. Sering juga secara nyata molting merupakan proses yang mencerminkan tingkat stres pada udang, sehingga para aquaculturist dituntut untuk tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi (khususnya penurunan) pada frekuensi molting.

Selama proses molting berlangsung, terjadi terjadi pemecahan kutikula antara karapas dengan intercalary sclerite, dimana pada bagian cephalothorax dan anterior appendages tertarik atau meregang. Karapas baru, yang tumbuh pada saat pertama setelah molting sangat lunak dan makin lama makin mengeras menyesuaikan ukuran tubuh udang.

Frekuensi molting pada L. vannamei menurun seiring dengan makin besarnya ukuran udang. Pada stadium larva terjadi molting setiap 30-40 jam pada suhu 280 C. Sedangkan juvenile dengan ABW 1-5 gram mengalami molting setiap 4-6 hari, selanjutnya pada ABW 15 gram periode molting terjadi sekitar 2 minggu sekali.

Dengan mengenal sifat udang windu dan vanamei, maka diharapkan kita selaku pelaku dalam budidaya udang windu dan vanamei ini dapat memaksimalkan produksi. Semoga

Baca Selengkapnya »»»»»»

Wednesday, April 1, 2009

Morfologi Dan Anatomi Udang Windu Dan Udang Putih

0 comments

Tubuh udang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala dan bagian badan. Bagian kepala menyatu dengan bagian dada disebut cephalothorax yang terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas di bagian kepala dan 8 ruas di bagian dada. Bagian badan dan abdomen terdiri dari 6 ruas, tiap-tiap ruas (segmen) mempunyai sepasang anggota badan (kaki renang) yang beruas-ruas pula. Pada ujung ruas keenam terdapat ekor kipas 4 lembar dan satu telson yang berbentuk runcing.

Bagian Kepala

Bagian kepala dilindungi oleh cangkang kepala atau Carapace. Bagian depan meruncing dan melengkung membentuk huruf S yang disebut cucuk kepala atau rostrum. Pada bagian atas rostrum terdapat 7 gerigi dan bagian bawahnya 3 gerigi untuk P. monodon. Bagian kepala lainnya adalah :

  1. Sepasang mata majemuk (mata facet) bertangkai dan dapat digerakkan.
  2. Mulut terletak pada bagian bawah kepala dengan rahang (mandibula) yang kuat.
  3. Sepasang sungut besar atau antena.
  4. Dua pasang sungut kecil atau antennula.
  5. Sepasang sirip kepala (Scophocerit).
  6. Sepasang alat pembantu rahang (Maxilliped).
  7. Lima pasang kaki jalan (pereopoda), kaki jalan pertama, kedua dan ketiga bercapit yang dinamakan chela.
  8. Pada bagian dalam terdapat hepatopankreas, jantung dan insang.

Bagian Badan dan Perut (Abdomen)

Bagian badan tertutup oleh 6 ruas, yang satu sama lainnya dihubungkan oleh selaput tipis. Ada lima pasang kaki renang (pleopoda) yang melekat pada ruas pertama sampai dengan ruas kelima, sedangkan pada ruas keenam, kaki renang mengalami perubahan bentuk menjadi ekor kipas (uropoda). Di antara ekor kipas terdapat ekor yang meruncing pada bagian ujungnya yang disebut telson. Organ dalam yang bisa diamati adalah usus (intestine) yang bermuara pada anus yang terletak pada ujung ruas keenam.

Baca Selengkapnya »»»»»»

Siklus Hidup Udang Windu Dan Udang Putih

1 comments

Merupakan spesies katadromus, udang dewasa memijah di laut lepas, sedangkan udang muda (juvenile) bermigrasi ke daerah pantai.

Setelah telur-telur menetas, larva hidup di laut lepas menjadi bagian dari zooplankton. Saat stadium post larva mereka bergerak ke daerah dekat pantai dan perlahan-lahan turun ke dasar di daerah estuari dangkal. Perairan dangkal ini memiliki kandungan nutrisi, salinitas dan suhu yang sangat bervariasi dibandingkan dengan laut lepas.

Setelah beberapa bulan hidup di daerah estuari, udang dewasa kembali ke lingkungan laut dalam dimana kematangan sel kelamin, perkawinan dan pemijahan terjadi.

Udang Putih (L. vannamei) dewasa kawin dan memijah pada kolom perairan lepas pantai (kedalaman ± 70 m) bagian Selatan, Tengah dan Utara Amerika dengan suhu 26–28 0C dan salinitas + 35 ppt.

clip_image002

Baca Selengkapnya »»»»»»

Mengenal Udang Putih Vanamei – Bagian II

0 comments

D. PERGANTIAN KULIT (MOLTING)

Semua golongan arthropoda, termasuk udang mengalami proses pergantian kulit atau molting secara periodik, sehingga ukuran tubuhnya bertambah besar. Agar udang bisa tumbuh menjadi besar, secara periodik akan melepaskan jaringan penghubung antara epidermis dan kutikula ekstraseluler, segera melepaskan diri dari kutikula (cangkang), menyerap air untuk memperbesar tubuh dan eksoskeleleton yang baru dan selanjutnya terjadi proses pengerasan dengan mineral-mineral dan protein. Proses molting ini menghasilkan peningkatan ukuran tubuh (pertumbuhan) secara diskontinyu dan secara berkala. Ketika molting, tubuh udang menyerap air dan bertambah besar, kemudian terjadi pengerasan kulit. Setelah kulit luarnya keras, ukuran tubuh udang tetap sampai pada siklus molting berikutnya.

Dalam kondisi molting, udang sangat rentan terhadap serangan udang-udang lainnya, karena disamping kondisinya masih sangat lemah, kulit luarnya belum mengeras, udang pada saat molting mengeluarkan cairan molting yang mengandung asam amino, enzim dan senyawa organik hasil dekomposisi parsial eksoskeleton yang baunya sangat merangsang nafsu makan udang. Hal tersebut bisa membangkitkan sifat kanibalisme udang yang sehat.

Ekdisis (proses molting) merupakan suatu rangkaian proses yang sangat kompleks yang dimulai beberapa hari atau bahkan beberapa minggu sebelumnya. Pada dasarnya setiap jaringan terlibat dalam persiapan untuk molting yang akan datang, yaitu:

  1. Cadangan lemak dalam jaringan hepatopankreas dimobilisasi.
  2. Pembelahan sel meningkat.
  3. Diproduksi mRNA yang baru, diikuti oleh sintesis senyawa protein baru.
  4. Terjadi perubahan tingkah-laku.

Proses yang rumit ini melibatkan kordinasi sistem hormonal dalam tubuh udang. Siklus molting berlangsung melalui beberapa tahapan. Pada beberapa spesies, masing-masing mempunyai tahapan dan definisi sendiri-sendiri. Pada udang ada 4 tahapan, yaitu:

  1. Postmolt Postmolt adalah tahapan beberapa saat setelah proses eksuviasi (penanggalan eksoskeleton yang lama). Pada tahapan ini terjadi pengembangan eksoskeleton yang disebabkan oleh meningkatnya volume hemolymph akibat terserapnya air ke dalam tubuh. Air terserap melalui epidermis, insang dan usus. Setelah beberapa jam atau hari (tergantung pada panjangnya siklus molting), eksoskeleton yang baru akan mengeras.
  2. Intermolt Pada tahapan ini, eksoskeleton menjadi semakin keras karena adanya deposisi mineral dan protein. Eksoskeleton (cangkang) udang relatif lebih tipis dan lunak dibandingkan dengan kepiting dan lobster.
  3. Early Premolt Pada tahapan early premolt (premolt awal) mulai terbentuk epicuticle baru di bawah lapisan endocuticle. Tahapan premolt di mulai dengan suatu peningkatan konsentrasi hormon molting dalam hemolymph (darah).
  4. Late Premolt Pada tahapan premolt akhir terbentuk lagi lapisan exocuticle baru di bawah lapisan epicuticle baru yang terbentuk pada tahapan early premolt. Kemudian diikuti dengan pemisahan cangkang lama dengan cangkang yang baru terbentuk. Eksoskeleton (cangkang) lama akan terserap sebagian dan cadangan energi dimobilisasi dari hepatopankreas. Ecdysis (pemisahan cangkang) sebagai suatu tahapan hanya berlangsung beberapa menit saja, dimulai dengan membukanya cangkang lama pada jaringan penghubung bagian dorsal antara thorax dengan abdomen, dan selesai ketika udang melepaskan diri dari cangkangnya yang lama. Siklus molting dikendalikan oleh hormon molting yang dihasilkan oleh kelenjar molting yang terdapat di dalam ruang anterior branchium, dan disebut Y –organ.

E. Panduan Standar Budidaya Udang Dalam Blog ini Secara Umum memuat beberapa hal tentang :

  1. Lingkungan perairan merupakan ekosistem yang sangat komplek, yang terdiri dari komponen biotik dan komponen a-biotik. Namun demikian, dengan menyadari dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan Budidaya Udang serta variasi kondisi alam tersebut, dapatlah disusun suatu Panduan Standar Budidaya Udang.
  2. Panduan Standar Budidaya Udang (“PSBU”) mencakup keseluruhan tahapan mulai dari pra-persiapan, persiapan air tambak, penebaran benur, pengelolaan lingkungan tambak dan manajemen pakan serta pemanenan udang.
  3. PSBU bersifat dinamis dengan mengingat penyesuaian terhadap perkembangan teknologi Budidaya Udang yang terjadi.
  4. Istilah atau definisi yang digunakan dalam Perjanjian Kerjasama akan berlaku juga terhadap PSBU ini.

F. Penyediaan Material Budidaya Udang

Penyediaan material kebutuhan Budidaya Udang meliputi penyediaan Peralatan Tambak dan Sarana Produksi, yang meliputi :.

  1. Peralatan Tambak: anco, strimin inlet dan outlet, filter I 6“ dan 8“, seichi disk, pengukur ketinggian air, kincir air, pompa air, serok klekap, timbangan pakan, baby box benur, reducer 3“, jala, instalasi listrik tambak dan selang spiral.
  2. Sarana Produksi: Benur, pakan (pellet), obat-obatan yang meliputi pupuk urea, saponin, TSP/SP 36, kapur (CaCO3, Ca(OH)2, Dolomit), probiotik, clorine dan bahan organik (Bungkil Kacang Kedelai dan Dedak).

G. Periode Budidaya Udang

Periode Budidaya Udang dengan gambaran tahapan kerja dan waktu sebagai berikut:

Tabel. 1.01. Periode Budidaya

Pra Persiapan

Persiapan

Tambak

Penebaran Benur

Pemeliharaan

Udang

Periode

Panen

Hari 1 – 20

Hari 21 – 40

(PL 9 - 12 )

Hari 41 – 43

( 1-120)

Hari 44 – 163

( 105-125 )

Hari 149-169

Akhir Panen Start Persiapan Pemeliharaan Start Panen

Status (Permintaan benur)

Hari 16 – 20

Status (Penyesuaian permintaan)

Hari 25 – 30

(Pembesaran )

Hari 90 – 120

Baca Selengkapnya »»»»»»

Mengenal Udang Putih Vanamei – Bagian I

1 comments

Teknologi budidaya udang terus memerlukan penelitian dan pengembangan dari waktu ke waktu. Walaupun dalam dua dasawarsa terakhir telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, namun jika dibandingkan dengan teknologi pertanian (misalnya hortikultura) atau peternakan (misalnya unggas), teknologi budidaya udang masih sangat jauh ketinggalan. Teknologi pertanian dan peternakan telah mencapai tahap genetic engineering (rekayasa genetika) dimana secara genetik telah ditemukan bibit unggul yang lebih produktif dan tahan terhadap penyakit. Sedangkan teknologi budidaya udang baru memasuki tahap genetic mapping (pemetaan genetika). Perkembangan terakhir teknologi budidaya udang difokuskan pada genetic improvement (perbaikan genetika) melalui proses seleksi induk secara ketat. Namun proses genetic improvement ini masih berada pada tahap seleksi secara alami.

Tingkat keberhasilan dari penerapan teknologi budidaya udang sangat bergantung pada tingkat penguasaan teknologi lingkungan perairan (sebagai tempat hidup udang) dan biologi udang itu sendiri. Lingkungan perairan merupakan ekosistem yang sangat kompleks, yang terdiri dari komponen biotik dan komponen abiotik. Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang benar tentang ekosistem perairan (tambak) sehingga dapat senantiasa menjaga keseimbangannya. Disamping itu, pemahaman tentang biologi udang merupakan hal yang tidak kalah penting, mulai dari anatomi, morfologi, fisiologi, habitat dan kebiasaan makan sampai pada pemahaman structure genetiknya.

Kondisi geografis juga memberikan pengaruh yang berbeda dalam hal struktur dan tekstur tanah, kualitas fisika dan kimia air serta kandungan unsur hara. Demikian juga dengan perbedaan iklim dan perubahan cuaca. Ini semua akan mempengaruhi pola dan jenis teknologi yang diterapkan. Pengaruh yang muncul dari perubahan cuaca, juga terlihat pada tingkat penyerangan penyakit. Pada musim penghujan misalnya, biasanya jumlah tambak yang terinfeksi penyakit lebih banyak dibandingkan pada musim kemarau. Hal ini diakibatkan oleh tingginya potensi fluktuasi kualitas air (terutama temperatur dan salinitas) yang mengakibatkan meningkatnya potensi stres udang dan virulensi penyakit.

Dari gambaran kondisi di atas untuk membuat Panduan Standar Budidaya Udang (PSBU) relatif sulit. Namun demikian, dengan menyadari dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan budidaya udang serta variasi kondisi alam tersebut, dapat disusun sebuah buku panduan yang mencakup keseluruhan tahap secara komperhensif yang disertai pedoman praktis, mulai dari persiapan tambak, persiapan air, persiapan tebar, proses penebaran benur, manajemen air, manajemen pakan, pengendalian penyakit hingga pelaksanaan panen. Standar operasi ini, bersifat dinamis seiring dengan permasalahan yang ditemukan di lapangan dan perkembangan teknologi budidaya udang yang ada.

A. SEBARAN GEOGRAFIS UDANG VANNAMEI

Daerah penyebaran L. vannamei meliputi Pantai Pasifik, Meksiko, Laut Tengah dan Selatan Amerika. Sebuah wilayah dimana suhu air secara umum berkisar di atas 200 C sepanjang tahun. Di sini merupakan tempat populasi L. vannamei berada. Karena spesies ini relatif mudah untuk berkembang biak dan dibudidayakan, maka L. vannamei menjadi salah satu spesies andalan dalam budidaya udang di beberapa negara dunia.

clip_image002

Gbr. 1.1. Peta distribusi alami udang putih Litopenaeus Vannamei (Samocha,- )

B. TAKSONOMI UDANG VANNAMEI (Litopenaeus Vannamei)

Taksonomi udang vannamei adalah sebagai berikut :

Phylum : Arthropoda

Class : Crustacea

Subclass : Malacostraca

Series : Eumalacostraca

Superorder : Eucarida

Order : Decapoda

Suborder : Dendrobrachiata

Infraorder : Peneidea

Superfamily : Penaeoidea

Family : Penaeidae

Genus : Penaeus

Subgenus : Litopenaeus

Species : Litopenaeus vannamei

Udang Putih (Litopenaeus Vannamei) termasuk dalam :

  1. Crustacea yang tergolong dalam ordo Decapoda seperti halnya lobster dan kepiting serta udang-udang lainya. Kata decapoda berasal dari kata deca = 10, poda = kaki, hewan ini juga memiliki karapas yang berkembang menutupi bagian kepala dan dada menjadi satu (cephalothorax).
  2. Famili Penaeidae yang menetaskan telurnya di luar tubuh, setelah dikeluarkan oleh si betina dan udang ini juga memiliki tanduk (rostrum).
  3. Genus penaeus yang ditandai dengan adanya gigi pada bagian atas dan bawah rostrum juga ditandai dengan hilangnya bulu cambuk (setae) pada tubuhnya. Secara khusus udang ini memiliki 2 gigi pada tepi rostrum bagian ventral dan 8-9 gigi pada tepi rostrum bagian dorsal.
  4. Subgenus Litopenaeus, yang ditandai dengan adanya organ seksual (thelycum) yang terbuka tanpa adanya tempat penampung sperma pada spesies betina.

Nama-nama lain dari udang putih Litopenaeus vannamei adalah Pacific white shrimp, West coast white shrimp, Penaeus vannamei, Camaron blanco Langostino, White leg shrimp (FAO), Crevette pattes blanches (FAO), Camaron pati blanco (FAO).

C. FISIOLOGI UDANG PUTIH (Litopenaeus Vannamei)

Semula digolongkan kedalam hewan pemakan segala macam bangkai (omnivorous scavenger) atau pemakan detritus. Dari hasil penelitian terhadap usus udang menunjukkan bahwa udang ini adalah karnivora yang memakan crustacea kecil, amphipoda dan polychaeta.

Secara alami L. vannamei merupakan hewan nocturnal yang aktif pada malam hari untuk mencari makan, sedangkan pada siang hari sebagian dari mereka bersembunyi di dalam substrat atau lumpur. Namun di tambak budidaya dapat dilakukan feeding dengan frekuensi yang lebih banyak untuk memacu pertumbuhannya.

L. vannamei membutuhkan makanan dengan kandungan protein sekitar 35%, lebih kecil jika dibandingkan udang-udang Asia seperti Penaeus monodon dan Penaeus japonicus yang membutuhkan pakan dengan kandungan protein hingga 45%. Dan ini akan berpengaruh terhadap harga pakan dan biaya produksi.

Pertumbuhan dipengaruhi oleh 2 faktor utama, yaitu: frekuensi molting (waktu antar molting) dan kenaikan angka pertumbuhan (Angka pertumbuhan setiap kali molting).

Kondisi lingkungan dan makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi frekuensi molting. Sebagai contoh, suhu yang tinggi dapat meningkatkan frekuensi molting. Penyerapan oksigen oleh udang kurang efisien selam molting, akibatnya selama proses ini beberapa udang mengalami kematian akibat hypoxia atau kekurangan oksigen dalam tubuh.

Sering juga secara nyata molting merupakan proses yang mencerminkan tingkat stres pada udang, sehingga para aquaculturist dituntut untuk tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi (khususnya penurunan) pada frekuensi molting. Selama proses molting berlangsung, terjadi terjadi pemecahan kutikula antara karapas dengan intercalary sclerite, dimana pada bagian cephalothorax dan anterior appendages tertarik atau meregang.

Karapas baru, yang tumbuh pada saat pertama setelah molting sangat lunak dan makin lama makin mengeras menyesuaikan ukuran tubuh udang. Frekuensi molting pada L. vannamei menurun seiring dengan makin besarnya ukuran udang. Pada stadium larva terjadi molting setiap 30-40 jam pada suhu 280 C. Sedangkan juvenile dengan ABW 1-5 gram mengalami molting setiap 4-6 hari, selanjutnya pada ABW 15 gram periode molting terjadi sekitar 2 minggu sekali.

Baca Selengkapnya »»»»»»
 

Copyright 2008 All Rights Reserved